Indonesia dikenal sebagai pasar yang besar dan menjanjikan bagi banyak brand internasional dan lokal. Namun, tidak semua merek yang pernah merajai pasar mampu bertahan menghadapi tantangan zaman. Beberapa di antaranya bahkan harus gulung tikar, meski dulunya sangat populer dan kuat secara finansial. Artikel ini mengupas empat brand besar yang dulunya sangat terkenal, tetapi akhirnya bangkrut di Indonesia. Apa penyebabnya? Bagaimana kejatuhan mereka bisa terjadi?
1. Nokia – Raja Ponsel yang Tak Siap Berubah
Puncak Kejayaan Nokia
Pada awal tahun 2000-an, Nokia merupakan pemimpin pasar ponsel tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Siapa yang tidak mengenal seri legendaris seperti Nokia 3310 atau Nokia N-Gage? Di Indonesia sendiri, Nokia menjadi simbol status dan teknologi. Produk-produk mereka begitu mudah dijumpai di pusat perbelanjaan maupun toko-toko ponsel kecil.
Kualitas produk yang tahan banting, baterai yang awet, serta desain antarmuka yang sederhana membuat masyarakat Indonesia sangat loyal terhadap brand asal Finlandia ini.
Awal Mula Kejatuhan
Sayangnya, dominasi Nokia mulai runtuh ketika tren smartphone melanda dunia. Ketika Apple meluncurkan iPhone pada tahun 2007 dan diikuti oleh Android dari Google, Nokia memilih untuk tetap mempertahankan sistem operasi Symbian-nya, yang lambat dan ketinggalan zaman.
Nokia baru menyadari pentingnya perubahan ketika sudah terlambat. Keputusan untuk bermitra dengan Microsoft dan menggunakan sistem operasi Windows Phone tidak berhasil memenangkan hati konsumen Indonesia, yang pada saat itu sudah mulai berpindah ke Android.
Keluar dari Indonesia
Sekitar tahun 2014–2015, produk-produk Nokia semakin sulit ditemukan di pasar Indonesia. Banyak toko resmi tutup, dan distribusi tidak lagi masif seperti dulu. Meskipun brand Nokia sempat “hidup” kembali lewat HMD Global, kejayaannya di Indonesia tak pernah kembali seperti dulu.
2. Giant – Supermarket Raksasa yang Gagal Bertahan
Giant dan Ekspansi Besarnya
Giant adalah brand ritel yang dimiliki oleh Hero Group dan sempat menjadi salah satu supermarket favorit masyarakat Indonesia. Dengan slogannya “Murah Setiap Hari”, Giant tumbuh pesat di kota-kota besar dan kecil, menawarkan produk kebutuhan sehari-hari dengan harga kompetitif.
Puncak kejayaan Giant terjadi pada tahun 2010-an, ketika gerainya tersebar dari Jabodetabek hingga Kalimantan. Giant dikenal mampu menarik konsumen kelas menengah hingga bawah yang mencari harga terjangkau.
Persaingan dan Perubahan Gaya Hidup
Namun, gaya belanja masyarakat Indonesia mulai berubah. Keberadaan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang buka 24 jam dan tersebar di perumahan membuat banyak orang memilih berbelanja lebih dekat dari rumah. Selain itu, tren belanja online juga turut memengaruhi jumlah kunjungan ke gerai Giant.
Supermarket besar yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk dijangkau mulai ditinggalkan. Apalagi, Giant dianggap kurang mampu memberikan pengalaman berbelanja yang nyaman, karena beberapa toko mulai terlihat kurang terawat.
Penutupan Resmi
Pada pertengahan 2021, Hero Group secara resmi mengumumkan bahwa seluruh gerai Giant akan ditutup dan operasionalnya dihentikan. Sebagian lokasi akan diubah menjadi gerai IKEA atau Hero Supermarket. Pengumuman ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Giant sempat menjadi raksasa ritel yang sangat dikenal di Indonesia.
3. 7-Eleven – Gagal Adaptasi dengan Regulasi dan Persaingan
7-Eleven dan Fenomena Nongkrong Modern
Ketika pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 2009, 7-Eleven (Sevel) membawa konsep convenience store yang berbeda. Mereka tidak hanya menjual makanan cepat saji dan minuman siap saji, tetapi juga menyediakan tempat duduk, Wi-Fi, dan suasana yang nyaman untuk nongkrong. Dalam waktu singkat, Sevel menjadi ikon gaya hidup urban anak muda Jakarta.
Gerai-gerai 7-Eleven mudah ditemui di area perkantoran dan pusat kota, menjadi tempat favorit untuk rapat informal, tugas kuliah, atau sekadar melepas penat di malam hari.
Masalah Regulasi
Sayangnya, inovasi Sevel tidak sejalan dengan regulasi pemerintah. Salah satu sumber pendapatan terbesar mereka berasal dari penjualan alkohol ringan. Ketika regulasi yang membatasi penjualan minuman beralkohol di minimarket mulai diberlakukan pada 2015, pendapatan Sevel menurun drastis.
Di sisi lain, banyak kompetitor lokal seperti Lawson, FamilyMart, dan Circle K mulai menawarkan konsep serupa, bahkan dengan harga lebih bersahabat. Sevel kalah bersaing dari segi harga dan promosi.
Resmi Tutup
Pada pertengahan 2017, PT Modern Internasional Tbk selaku pemegang lisensi 7-Eleven di Indonesia mengumumkan penghentian seluruh operasional gerai. Keputusan ini diambil karena perusahaan tidak mampu menutupi kerugian yang terus meningkat. Kini, nama Sevel hanya tinggal kenangan, walaupun konsep yang mereka bawa tetap hidup lewat brand lain.
4. Blackberry – Dari Simbol Keamanan ke Produk yang Dilupakan
Blackberry dan Kejayaan BBM
Di era 2000-an hingga awal 2010-an, Blackberry sangat populer di Indonesia. Ponsel asal Kanada ini menawarkan fitur keamanan yang luar biasa dan aplikasi pesan instan BBM (Blackberry Messenger) yang eksklusif. Memiliki Blackberry adalah sebuah kebanggaan, apalagi bagi para profesional dan pelaku bisnis.
Indonesia bahkan sempat dinobatkan sebagai salah satu pasar terbesar Blackberry di dunia. Produk seperti Blackberry Gemini dan Onyx menjadi hits di kalangan anak muda.
Kejatuhan yang Cepat
Namun, sama seperti Nokia, Blackberry terlalu lambat beradaptasi. Ketika Android dan iPhone menawarkan antarmuka yang lebih intuitif dan aplikasi lebih beragam, Blackberry masih berkutat dengan keyboard fisiknya dan sistem operasi terbatas.
BBM yang semula menjadi keunggulan akhirnya dibuka untuk platform lain, namun langkah ini dianggap terlambat. Ketika WhatsApp dan LINE merebut pasar pesan instan, BBM mulai ditinggalkan.
Tamatnya Operasi
Pada 2016, Blackberry mengumumkan bahwa mereka akan berhenti memproduksi perangkat sendiri dan fokus pada perangkat lunak. Di Indonesia, toko resmi Blackberry mulai tutup satu per satu. Produk-produk terakhir seperti Blackberry Priv dan Blackberry KEYone tidak mampu mengembalikan kejayaan sebelumnya.
Pada 31 Mei 2019, layanan BBM resmi dihentikan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Keputusan ini menandai berakhirnya era Blackberry di negeri ini.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kejatuhan Brand-Brand Ini?
Tidak Ada yang Kekal di Dunia Bisnis
Empat brand di atas membuktikan bahwa seberapa kuat pun suatu merek, mereka tetap bisa jatuh jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman. Baik karena gagal beradaptasi dengan teknologi, regulasi, maupun perubahan gaya hidup konsumen.
Pentingnya Inovasi Berkelanjutan
Brand seperti Nokia dan Blackberry gagal berinovasi tepat waktu. Mereka terlalu percaya diri dengan produk lama dan tidak melihat tren baru yang sedang tumbuh. Akibatnya, mereka kalah dari pesaing yang lebih cepat dan tanggap terhadap perubahan.
Memahami Pasar Lokal
7-Eleven gagal karena tidak cukup fleksibel menghadapi regulasi Indonesia. Giant kalah bersaing karena tidak mampu mengimbangi kenyamanan dan kecepatan minimarket. Memahami karakteristik pasar lokal adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan brand global maupun nasional